sejarah



PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tim Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pati dengan sangat berani menetapkan, bahwa Pati lahir pada waktu yang hampir bersamaan dengan lahirnya kerajaan besar Majapahit. Bahkan menetapkan dengan pasti kurun waktunya yakni tahun 1.323 M. Kemudian ditandai dengan Surya Sangkala Masehi Kridhaning Panembah Gebyaring Bumi.
Jika kurunn waktu tersebut dihitung sampai tahun 2000 Masehi sekarang ini, perjalanan waktu itu telah menempuh jarak 677 tahun atau hampir 700 tahun yang lalu.
Penguasa Majapahit pada waktu itu ialah Raja Majapahit II yakni Kalagemet Jayanegara ( 1309 - 1328 M ), putra Raja Majapahit I : Kertarajasa Jayawardhana. Tumpuan utama Tim Hari Jadi Kabupaten Pati, yang memastikan kurun waktu tersebut, karena 'babad Pati' mengatakan demikian. Oleh sebab itulah, segala bentuk kegiatan penelitian, baik dalam bentuk wawancara, mendengarkan cerita-cerita rakyat, pengumpulan data referensi, menerjemahkan prasasti, kunjungan ke Museum-museum dan sebagainya, selalu digiring dann difokuskan ke tujuan akhir, yakni kurun waktu yang telah dipastikan, selanjutnya untuk dilegitimasikan.
Yang janggal dan terasa mengganjal adalah tata kegiatan Tim sebagai Peneliti, yang justru terlampau bertumpu pada buku babad, dan sudah dipastikan kebenarannya. Padahal semua ilmuwan tahu, buku babad bukanlah hasil karya ilmiah. Dengan demikian tampak jelas, buku laporan Tim Hari Jadi Kebupaten Pati yang ternyata rancu dalam data dan fakta sejarah.
B. Masalah
Dengan membaca laporan Tim Hari Jadi Kabupaten Pati yang kemudian menjadi ketetapan Pemerintah Daerah Tingkat H Kabupaten Pati tertanggal 28 September 1993 tersebut, maka sejarah kelahiran Pati dianggap sudah benar. Tampilnya makalah ini dipastikan akan menimbulkan polemik : pro dan kontra. Tidak mengapa. Untuk suatu obyek penelitian yang sama, antara Peneliti satu dengan Peneliti yang lain, belum tentu berkesimpulan yang sama, meskipun metode penelitian yang diterapkan sama pula (Notosusanto, 1984)
‘Ada 4, faktor yang menyebabkan Sejarawan berbeda pandangan dan tafsirannya yaitu :
1. Sikap berat sebelah pribadi, misalnya seseorang sangat menyukai tokoh be.sar seperti Garlyle. Atau sangat membenci terhadap Wells.
2. Karena prasangka kelompok : berbeda azasnya, agamanva, pandangan sosialnya dan sebagainua.
3. Interpretasi berlainan tentang, faktof-faktor sejarah. Misalnya : apa, faktor kemenangan kita dalam perang kemerdekaan tahun 1949. Ada yang mengatakan karena, faktor diplomasi Internasional. Ada yang mengatakan karena, faktor berhasilnya gerilya militer kita. Dan ada yang mengatakan karena faktor ekonomi, karena Belanda perlu membangun negerinya sesudah Perang Dunia II.
4. Pandangan dunia yang berbeda-beda mempengaruhi penulisan sejarah. Sejarawan Marxis akan berbeda persepsinua dengan Sejarawan Agamis dan Sejarawan Nasionalis.’
(Sejarah dan Sejarawan, 1984: 16).
Namun bagaimanapun juga, seorang Sejarawan sejati akan selalu bersikap netral dan obyektif. Hasil penelitian yang dicapai serta hasil kesimpulan yang ditarik, harus dipertanggungjawabkan secara moral.
`………ia (Sejaruwan sejati, Pen) tidak begitu saja percava kepada keterangan yang diberikan sumber-sumber itu. Bahkan setiap sumber diteliti dengan sungguh-sungguh, untuk menetapkan, apakah sumber itu sumber sejati atau palsu. Semua kesimpulan yang diambilnya selalu disertai bukti cukup. '
(Sejarah dan Sejarawan, 1984: 12)
Jika Sejarawan Soewito Santoso, mengatakan bahwa buku babad merupakan sumber sekunder, hal ini sangat berbeda sekali dengan pandangan Prof. Dr. Purbatjaraka.
Beliau berpendapat bahwa sumber Babad tidak bisa dipercaya. " Wong Djawa iku jen nulis mung sa-elinge wae", demikian antara lain pendapatnya tentang buku Babad. Tentu saja Purbatjaraka tidak menggeneralisir semua buku Babad dan " Wong Djawa …………". Yang dimaksud disini adalan Wong Djawa tempo doeloe. Wong Djawa seangkatan penulis-penulis Babad Tanah Jawi, Babad Demak, Babad Kendal dan sebagainya. Dan barangkali termasuk juga penulis Babad Pati.
Ada dua buku Babad yang ternyata dikagumi Purbatjaraka yakni Nagarakertagama (Mpu Prapanca) dan Babad Giyanti (Yosodipuro I). Kedua buku tersebut merupakan reportase otentik dari Mpu Prapanca yang mengikuti perjalanan dinas Prabu Hayam Wuruk, dan R. Ng. Yosodipura I yang ikut terlibat langsung dalam peristiwa pembagian kerajaan Mataram th. 1755.
Tidak semua buku Babad tidak berbobot. Contohnya kedua buku tersebut. Tetapi juga tidak semua buku Babad berbobot. Pandangan ini sebenarnya dapat kita mengerti, mengingat buku-buku Babad selama ini memang bukan hasil karya ilmiah. Segala peristiwa yang dituturkan tanpa titimangsa. Kurun waktu pelaku dan peristiwa yang terjadi tidak jelas. Isi cerita penuh dengan tembung-tembung Andupara, tembung atau kata-kata simbolis, pasemon, tembung-tembung sinengker. Buku yang disebut Babad, bahkab ada kalanya hanya berisi silsilah keluarga, yang disebut Pakem. Contohnya Babad Kendal dan Babad Parakan. Tebalnya hanya empat lembar folio.
C. Bahasan
Sejumlah data telah diajukan oleh laporan terdahulu sebagai 'bukti' historis, bahwa pada kurun waktu abad XIV Pati berdiri dengan Adipati Tambranegara sebagai Penguasa pertamanya.
Tulisan berikut akan membahas beberapa data yang dianggap penting, meskipun secara tehnis penulisan tidak sistematis; juga tidak kronologis. Dengan memperbandingkan kedua macam data (yang satu dari hasil penelitian Penulis), diharapkan kesimpulan yang bersikap netral dan obyektif bisa disepakati, tanpa menimbulkan konflik. Sedang keputusan akhir, sama sekali bukan ambisi pribadi siapapun, melainkan hak dan wewenang masyarakat Pati sendiri.





dua

I. ASPEK KEHIDUPAN DI JAMAN MAJAPAHIT

A. Agama
Sejarah Nasional mencatat, bahwa kebudayaan Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya India. Pengaruh tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain bidang Agama, politik, dan apa yang disebut kebudayaan dengan semua cabang-cabangnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha. Pengaruh budaya dalam bidang Agama ini nyata sekali dengan makin berkembangnya Agama Hindu dan Agama Budha.
Agama Hindu yang semula mendominasi kehidupan masyarakat, kemudian disusul dengan hadirnya Agama Budha, ternyata tidak menimbulkan konflik yang berarti. Justru bangsa Indonesia sangat toleran sekali dengan kedua agama yang 'berbeda' itu. Hal ini ternyata sekali dalam kehidupan masyarakat sejak jaman Mataram : Wangsa Sanjaya yang Hindu dapat hidup berdampingan dengan damai dengan wangsa Syaila Indra yang Budha. Terlebih lagi dengan terjadinya perkawinan Politik antara Rakai Pikatan (Hindu) dengan Pramodawardhani (Budha). Bahkan candi-candi Hindu dan Budha dibangun pada masa-masa yang sama. Itulah awal mula sinkretisasi kedua agama.
Sampai pada jaman Majapahit, sinkretisasi Agama Hindu dan Agama Budha tampak kental sekali. Seperti ucapan Prabu Hayamwuruk yang terkenal sampai saat ini, yang dicatat Mpu Tantular dalam naskah Sutasoma : Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa.
Kehidupan masyarakat bercorak Hindu-Budha itu belum lenyap juga walau Agama Islam telah masuk ke Indonesia pada pertengahan abad XV. Bahkan kebudayaan Hindu-Budha masih terlihat di jaman pra Islam. Di bagian lain dari tulisan ini akan disinggung serba sedikit tentang hal ini.
Keruntuhan Majapahit pada tahun 1400 C (1478 M) memulai babak baru dalam kehidupan beragama di Jawa khususnya, dan diseluruh persada Nusantara secara keseluruhan.


B. Bahasa dan Sastra
Ditinjau dari Kepustakaan Jawa, umur Bahasa Jawa terbagi dalam tiga periode.
Periode I = Bahasa Kawi, = sejak jaman kuna - Kediri.
Periode II = Bahasa Jawa Tengahan, sampai jaman Majapahit.
Periode III = Bahasa Jawa Baru, sampai jaman Surakarta.
Kawi artinya adalah Pujangga, Sang Kawi berarti Sang Pujangga. Kakawin adalah puisi berbahasa Kawi. Selain kakawin, Sang Kawi juga menghasilkan karya¬karya prosa.
Bahasa Kawi atau lajim disebut bahasa jawa Kuna itu dipakai sejak jaman kuna sampai jaman Majapahit. Sastra-sastra kuna berbahasa Jawa kuna antara lain dimasa Mpu Sindok : Sang Hyang Kamahayanikan. Jaman Prabu Jayabaya : Bharatayudha kakawin, yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Arjunawiwaha kakawin digubah oleh Mpu Kanwa, dijaman Prabu Airlangga.
Dijaman Majapahit, semasa Prabu Hayam Wuruk, lahir buku Negara kretagama (Mpu Prapanca) dan Sutasoma (Mpu Tantular). Kemudian dari jaman Majapahit awal demi sedikit bahasa Jawa Kuna bergeser ke Bahasa Jawa Tengahan. Karya-karya sastra berbahasa Jawa Tengahan antara lain : Pararaton, Tantu Panggelaran, Calwanarang dan sebagainya.
Jaman Islam karya-karya sastra masih menggunakan bahasa Jawa Tengahan, misalnya : Kitab Nitipraja (Sultan Agung), Layang Suluk Sukarsa dan Suluk Wijil (Sunan Bonang), Kitab Rengganis (Ranggajanur) dan sebagainya.
Jaman Surakarta awal sampai sekarang kita menggunakan -Bahasa Jawa Baru. Tidak perlu dicontohkan buku-buku apa saja yang lahir dijaman ini, kecuali dua buah buku yang menarik untuk disimak. Buku tersebut berjudul : Pranacitra, karangan Rangga Janur, dan Baron Sekender, karangan Ng. Yudasara.
Selain karya-karya sastra dalam kitab-kitab kuna tersebut, karya sastra juga dijumpai pada prasasti-prasasti. Prasasti terpahatkan pada batu atau pada lempengan tembaga, dan juga tertulis dalam ron tal (daun tal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar